Sunday, January 29, 2006

Sore dan Hujan

Sore itu, hujan .....
ingin aku menenggelamkam diri ke dasar bumi yang terdalam
hingga tiada lagi mata yang menatap

Sore itu hatiku mendung
selang kemudian air mata menggenang
dan aku ingin angin berhenti berhembus
hingga tiada penciuman yang mengetahui keberadaanku

Sore itu .....
aku ingin berlari menembus hujan
dan biarkan badai menampar dan menghempaskan
diri yang selalu merasa ia bintang
padahal hanyalah sebutir debu jalanan ......

sore itu bumi basah
dan jiwaku luruh, membayang dosa

Sore itu, hujan ...
semesta marah, karena diri menebar nista
dan kepandiran tiada henti merajai jiwa
aku pun menangis lagi


Labkom,Januari 2006

Thursday, January 26, 2006

Lingkaran - Lingkaran Cinta

Udara dingin menggigit, hujan menderas, tak menyurutkan langkahku malam
itu.Wajah-wajah penuh harap saudaraku terus membayang di pelupuk mata,
membuat badan yang sedari kemarin meriang tak lagi kurasa.

Dan segala puji syukur atas anugerah cinta-Nya,wajah-wajah penuh harap itu
berganti dengan guratan bahagia saat diri ini muncul di kontrakkan mereka.
Tak menunggu lama bagi mereka memainkan peran menerjemahkan cinta,ada yang
menggelar kain sprei kasurnya "sekedar" untuk mengurangi rasa menggigil yang
dihasilkan dari sentuhan kulit dan ubin nan dingin, ada yang memasak air
"sekedar" untuk minuman penghangat tubuh, dan ada yang mengajak ngobrol
sembari sesekali terdengar gelak suara kami yang sedikit mengubah wajah
pucatku akibat rasa sakit yang sulit untuk disembunyikan.

Kemudian lingkaran-lingkaran cinta itu pun memulai aktivitasnya,dimulai
dengan menyebut asma-Nya, mentadaburi ayat-ayat qauliyah dan kauniyah Sang
Maha Pencipta, segala hal yang membuat kami tersungkur dan berkali-kali
berucap lirih "astaghfirulloh" atas segala kealpaan dan kedhoifan kami di
hadapan-Nya, hingga aktivitas itu pun "berakhir" dengan sebuah azzam untuk
menjadi muslim yang lebih baik dari masa ke masa.

"Saudara-saudaraku lebih aku cintai daripada keluarga dan
anak-anakku.Keluargaku mengingatkanku dengan dunia, sedangkan
saudara-saudaraku mengingatkanku dengan akhirat", begitu pesan Imam Hasan al
Bashri.

"Akhi ta'aal nu'minu saa'ah....saudaraku, mari sejenak beriman" ajak Ibnu
Rawahah radhiallahu anhuma kepada sahabatnya Abu Darda radhiallahu anhuma.

"Jika aku merasakan kesesatan hati,maka aku segera pergi dan melihat wajah
Muhammad bin Wasi'"ungkap seorang salaf.

Subhanalloh, betapa nikmat majelis dan pertemanan orang-orang sholeh.
Majelis yang menjadi refleksi keimanan kita, majelis iman dan cinta yang
menguatkan kita untuk bertahan di jalan yang penuh onak dan duri dalam
ikhtiar kita untuk mencintai-Nya.

Subhanalloh, adalah lingkaran - lingkaran cinta itu yang menjadi wasilah
untuk mengendapkan hati dan menghentikan kita menjadi pejalan-pejalan
tradisi dalam segala aktivitas peribadatan kita.

Sekalipun berat beban yang kita rasakan dalam kafilah dakwah ini,dan kita
harus mengarungi lautan cobaan kehidupan yang sejatinya adalah bentuk kasih
dan cinta ALLOH SWT, adalah satu keniscayaan untuk meyakini bahwa
lingkaran-lingkaran cinta itu menyediakan energi-energi baru sebagai penguat
langkah - langkah ini.

Adakah kenikmatan dalam lingkaran-lingkaran cinta itu kita rasakan seperti
yang disampaikan sahabat Umar bin Khattab radhiallahu anhuma "Tidak ada
nikmat kebaikan yang ALLOH berikan setelah Islam, selain saudara yang
sholih.Maka jika salahseorang kalian merasakan kecintaan dari saudaranya,
peganglah kuat-kuat persaudaraan dengannya".

Masihkah hati ini tergetar saat saudara kita berucap "Aku mencintaimu karena
ALLOH ....." hingga kita pun menggumamkan doa Rabittha sebagai rasa syukur
kita kepada-Nya.

wallahu'alam bishowab





Sukolilo yang sedang menggigil, Desember'05

Berkaca di telaga Kasih Ibu

bunda hanya sedikit mengarang puisi untukku
tapi semakin lama kuamati
senyuman bunda adalah puisi
tatapan bunda adalah puisi
teguran bunda adalah puisi
belaian dan doanya
adalah puisi cinta
yang disampaikannya padaku
tak putus putus
tak putus putus

bahkan bila kutidur

(Mei 2003)

Bunda
engkau adalah
rembulan yang menari
dalam dadaku

Ayah
engkau adalah
matahari yang menghangatkan
hatiku

Ayah Bunda
kucintai kau berdua
seperti aku
mencintai surga

Semoga Allah mencium ayah bunda
dalam tamanNya terindah
nanti

(Januari 2002)
- Abdurrahman Faiz ( 10 tahun ) -


Berkaca di telaga kasih ibu, hanyalah citra dan warna - warna cinta yang
membayang dan bersemayam di sana.
Berkaca di telaga kasih ibu, mengatakan kepada kita bahwa pekerjaan
mencintai bukanlah pekerjaan yang mudah.
Berkaca di telaga kasih ibu, mengajarkan jiwa ini bahwa inti cinta itu
adalah pengabdian dan memberi.
Berkaca di telaga kasih ibu, mendidik anak - anak jaman bahwa cinta visi
tidak pernah terkungkung oleh sekat - sekat ruang dan waktu.
Andaikan predikat ibu adalah suatu profesi maka menjadi seorang ibu
berarti bersedia untuk minimal menjalani dua profesi sekaligus,yakni
sebagai pembantu rumah tangga - atau barangkali sedikit eufimistis sebut
saja sekertaris- dan sekaligus seorang pramugari. Sebagai sekertaris
karena dalam rentan waktu 24 jam ia mengemban amanah untuk memastikan
kebutuhan buah hati dan sang suami akan keberadaannya terpenuhi,sedangkan
sembari menunaikan tugas yang begitu berat itu dia pun dituntut senantiasa
menampakkan tampilan fisik yang menyenangkan hati.
Betapun beratnya beban yang harus bertengger di pundak karena aktivitas
yang tidak memberikan jeda untuk rehat, senyum dituntut untuk selalu
terpampang di wajah. Se-tiran apapun raja kesedihan yang sedang berkuasa
di kerajaan jiwanya,dia tak akan membiarkan sang buah hati dan belahan
jiwanya mengenal kata kesedihan apalagi untuk mencicipi pahitnya.
Dan rasanya sulit untuk membayangkan dari bahan apa hati seorang ibu
dibuat karena setiap ruang dan sudut hatinya senantiasa dipenuhi dengan
warna cinta seolah - olah kebencian dan dendam kesumat kehilangan
tempatnya untuk bertahta, pun sama sulitnya untuk memikirkan bahwa betapa
fisiknya tiada kenal lelah untuk menerjemahkan gumpalan cinta itu dalam
kerja-kerja yang laiaknya hanya bisa dilakukan oleh para pecinta sejati.
Sekalipun untuk mengejahwantahkannya menuntut diri tidak bosan memeras air
mata, dan tidak jarang harus berdarah - darah. Ya .... pekerjaan
mencintai, dengan cara apapun cinta itu diterjemahkannya, adakalanya cinta
itu berwajah ceria sembari disertai pujian-pujiannya namun terkadang tidak
jarang pula dalam topeng-topeng kemarahannya, namun tetap saja itu adalah
wujud cinta.
Dari rahim dan bentangan kasih mereka, amanah untuk menghadirkan pahlawan -
pahlawan yang menjadi pelita di lorong-lorong gelap peradaban,
mengajarkan kepada anak - anak insan untuk senantiasa mencintai-Nya.Hingga
tiada mengherankan sekiranya Rabb-ku menitipkan surga di telapak kakinya.
Maka sebelum kemurkaan Rabb-ku akan kedurhakaanku kepadamu ibu,
perkenankan aku bersimpuh, luruh, mereguk cinta dari telaga kasihmu
sembari lirih membisikimu "Aku cinta ibu".......

" Dan Kami perintahkan kepada manusia ( berbuat baik ) kepada dua orang
ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu " ( QS.
Luqman :14 )



Surabaya, Desember 2005

Sunday, January 22, 2006

Kemiskinan itu, Pilihan?

Betapa pun pahit ujian kehidupan ini , memamah kesedihan untuk diri sendiri, rasanya lebih mudah daripada harus menyaksikan orang yang kita cintai harus mencicipi kesedihan itu, dan dalam konteks dan jangkauan " orang yang dicintai " inilah pada masing-masing individu berbeda. Hari ini, kita menyaksikan 60 juta jiwa -orang yang kita cintai ( ? )-harus menelan kemiskinan sebagai menu kehidupan mereka di negeri yang konon gemah ripa loh jinawi ini. Dan kemiskinan fisik pada 60 juta jiwa itu telah sukses melahirkan kemiskinan mental -sesuai dengan sabda Rasulullah : "kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran"-yang memeras air mata kita,betapa tidak; kemiskinan berhasil me-make-up wajah yang dahulu terkenal dengan keramahannya itu dengan topeng garang yang siap dipertontonkan dan diperlakukan kepada siapa saja, kemiskinan ini membuat kaum hawa-nya tiada segan untuk menggadaikan kehormatannya untuk kehidupan yang "lebih baik", kemiskinan ini mengajari bocah-bocah -yang perutnya buncit-buncit karena seringnya tak terisi dengan asupan yang "bergizi"-memandang kehidupan tidak lebih dari garis batas cakrawala di ufuk timur dan barat.Sampai pada stadium ini kemiskinan membuat nilai-nilai materialistik menjadi begitu didewakan, harkat, martabat, kehormatan, bahkan aqidah menjadi begitu mudah ditukar dengan hanya beberapa lembar rupiah.
Adalah manusia yang memiliki kemampuan sesuai dengan firman-Nya " Laa yukallifulloha nafsan illa wus'aha ......" maka sesungguhnya setiap diri ini memiliki potensi untuk bisa menanak kebahagiaan dari remah-remah keceriaan sekecil apapun.Termasuk memaknai kemiskinan itu sendiri, menjadi sebuah pilihan; apakah harus dengan lantang menggugat Tuhan akan kemiskinan yang mendera atau memilih menjadi laksana nabi Ayyub alaihissalam yang sukses menghadapi keterhimpitan itu dengan pengharapannya yang besar kepada-Nya.
Dan 60 juta jiwa yang terlalu biasa dengan kata penderitaan itu tidak seluruhnya bisa menjadi se-sabar dan arif laiaknya nabi Ayyub alaihissalam,sedangkan jaman tidak lagi menghadirkan sesosok Umar yang memikul sendiri karung terigu untuk para penggodok batu, saat kisah susahnya mencari para mustahik di jaman Umar bin Abdul Azis menjadi sesuatu yang mustahil adanya.
Hingga jeritan 60 juta jiwa itu mendobrak-dobrak pintu nurani ini, menyeruak dalam puisi seorang siswi SD kelas V Inpres dari sebuah sekolah di Jawa Tengah;

RAKYAT KECIL
Pasti kecil orangnya
karena kurang gizi.
Pasti kecil dapat duitnya,
pasti kecil tempat tinggalnya,
pasti kecil keinginannya,
pasti kecil bohongnya,
pasti besar imannya,
dan besar di mata Tuhan.
Beda dengan

PEMBESAR
Pasti besar orangnya,
pasti besar dapat duitnya,
pasti besar rumahnya,
pasti besar keinginannya,
pasti besar kantong bajunya,
pasti besar bohongnya,
pasti kecil imannya,
dan kecil di mata Tuhan.

Dan aku lapar sekali.



Sukolilo, November nan lengang,2005

Tuesday, January 03, 2006

“ Ada Apa Denganmu? “

Syahdan ada sebuah kisah nyata seorang lelaki yang mengurungkan niatnya untuk bunuh diri dikarenakan dalam perjalanan untuk melakukan prosesi harakirinya tersebut tanpa sengaja ia ditolong oleh seorang ikhwan - yang tak dikenal sebelumnya- yang di kemudian hari momentum itulah yang menumbuhkan simpul persahabatan diantara mereka dimana hal tersebut menjadi energi yang menjadikan si lelaki untuk mengurungkan niatnya. Ada juga cerita yang mengisahkan seorang ikhwan yang sudah sangat berkeinginan untuk menceraikan istrinya namun keinginan itu akhirnya dikuburnya dalam-dalam setelah ia bertemu dengan sahabat lamanya yang konon karena bantuan sahabatnya tersebut, dahulu ia bisa beristrikan akhwat yang dengan setia menemani ia mengurai waktu bersama beberapa tahun dengannya yang sedianya ingin ia talaq dan sama dengan kasus pertama, niat itu pun diurungkannya setelah sahabatnya memberikan energi baru untuknya.
Ilustrasi di atas sedikit melukiskan betapa kekuatan persaudaraan pada akhirnya menjadi tambang penarik- orang-orang yang terlibat di dalamnya - dari lembah keputus asaan. Dan ketika kita “ zoom” lukisan itu maka yang terlihat di sana adalah warna – warni cinta yang dimuculkan dari perpaduan antara sikap memahami dan empati.
Sedangkan saat ini kita melihat begitu banyak saudara kita - yang sebelumnya aktif atau bahkan mungkin menjadi tulang punggung dakwah - terasing sendiri di sudut ruang jamaah kemudian tidak berselang lama ketika ia sudah mencapai titik nadir maka ia tak segan untuk melompat keluar dari kereta dakwah. Ada beberapa penyebab fenomena tersebut terjadi dan permasalahan yang sering tidak kita anggap serius adalah bagaimana kita memposisikan jundi-jundi dakwah tersebut. Kita sering memposisikan mereka sebagai mesin produksi tanpa melihat kebutuhan dari sisi-sisi kemanusiannya ( baca : fitrah ). Sehingga mereka hanya merasa dijadikan sapi perahan oleh
“ pabrik proker “ yang mengatas namakan dan mengumbar jargon – jargon dakwah ini. Padahal terlepas dari kebutuhan manusia untuk diakui eksistensinya, ada kebutuhan mendasar lain yang juga cukup penting yakni kebutuhan untuk dicintai sedangkan cinta itu sendiri dimunculkan dari empati dan perhatian kita untuk memanusiakan mereka dan langkah paling awal untuk itu adalah ”mendengar”. Sebenarnya wacana di atas pasti sudah berulangkali didengungkan kepada para qiyadah, namun seringkali kita terjebak pada pemahaman bahwa untuk mengungkapkan rasa cinta itu harus dalam ”bentuk – bentuk formal” yang terkadang memiliki keterbatasan konteks, ruang dan waktu. Padahal dengan pertanyaan pertanyaan sederhana ; ” Gimana kabarmu hari ini saudaraku ? ” , ” Ada masalah ?” , ” Apa yang bisa ana bantu ? ” , dengan dibumbui senyuman termanis kita maka hati siapa yang takkkan luluh. Karena ketika sesorang mau melepaskan segala bebannya yang dicurahkan melalui tutur katanya maka harus ada sebuah kondisi nyaman yang melingkupi dan menstimulusnya, ini erat kaitannya dengan bagaimana kita bisa menggugah sisi afeksional saudara kita. Menilik hukum ke-pemimpin-annya Maxwell ; pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang bisa menggugah emosional anak buahnya.
Akhirnya, saat ini bayangkan aku sedang tersenyum kepadamu saudaraku, dan masih dengan senyum tersungging kemudian bayangkan aku bertannya ; ” Ada apa denganmu ? ” .....................

Saudaraku ..........
Aku ingin memahamimu
Layaknya pengertianku akan gelap terang sudut hatiku

Saudaraku
Aku ingin mengerti ikatan ini
Selayaknya isyarat Rasulullah
Bahwa aku dan kau adalah satu tubuh

Saudaraku...
Aku ingin menampung setiap tetes keluh kesahmu
Dalam cawan hatiku
Hingga ku mampu meneguk kesedihanmu
Dan senyum itu pun kembali melekat di wajahmu…….

Jika cinta adalah tangismu
Maka biarkan air mata itu menelaga hingga aku pun berenang mengarunginya
Jika cinta adalah gelakmu
Maka biarkan aku menjaga kesedihanmu tertidur pulas di bilik persembunyiannya

Jika cinta adalah amarah
Maka biarkan aku menampung bara itu
untuk menghangatkan kebekuan jiwa
Andai indahnya ukhuwah ini bisa terlukiskan
maka tak cukup warna cinta untuk menuangkannya ……..
Andai cinta ini bernama
Maka biarkan namamu selalu bersanding dengannya ......

”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat ” ( Q.S 49:10)

Sekpa, 4 Dzulhijjah 1425 H

al faqir Ilallah

Kala Izrail Menyapa

Tidak seperti biasanya, pagi itu wajah teman-teman kuliahku terlihat muram, kesedihan apakah gerangan yang berkesempatan menyapa mereka ? beberapa saat kemudian baru kuketahui bahwa salah seorang teman kami meninggal tadi malam. Innalillahi wa inna ilahi rajiun…
Kematian…. ah… masa itu pasti akan, sedang, dan telah terjadi pada setiap yang bernyawa, kullu nafsin dzaiiqatul maut , tapi sekalipun kesadaran itu telah memenuhi otakku, ada perasaan aneh yang selalu menghinggapiku setiap kali mendengar berita itu. Bukan kematian yang aku risaukan, akan tetapi pertanyaan yang selalu menggelayuti pikiranku adalah “ kapan itu terjadi padaku? “, seperti halnya temanku yang telah meninggal di usianya yang masih muda - semoga Alloh SWT menerima segala amal kebaikannya – membuktikan bahwa malaikat izrail tidak segan-segan menjemput siapaun dan kapanpun setiap makhluk-Nya saat tiba masanya. Adalah aku yang selalu terlena untuk mengingat, bahwa setiap waktu yang diurai layaknya sebait puisi : menabung maut segobang demi segobang.
Berbicara soal kapan maut akan datang, pernah dalam sebuah pelatihan, tiba-tiba salah seorang pembicara bertanya kepadaku, “ kondisi seperti apakah yang anda inginkan saat maut menjemput? “. Pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab, tentunya bukan iringan requiem-nya (lagu kematiannya ) Mozart yang aku inginkan saat meregang nyawa, juga bukan pula lantunan ode-ode para pujangga terkenal sementara tubuhku menggelepar menahan sakitnya rengkuhan sang malaikat maut ( naudzubullah ), bukan…bukan itu, tak kujawab pertanyaan itu, dan membiarkan hatiku merajut doa membumbungkan kehadirat-Nya, “mendesain” kematianku.
Prosesi kematian yang diinginkan haruslah berawal dan secara kontinu dibangun dari akumulasi pemahaman tentang eksistensi, asa dan cita seseorang dalam keberadaannya di alam dunia. Para mujahid hanya memiliki satu asa dan cita yakni kesyahidan karena mereka haqqulyaqin bahwa eksistensinya di alam fana ini hanyalah semata untuk kehidupan akhirat, artinya bagi mereka tidak ada yang lebih indah dari sebuah tikaman pedang lawan saat mereka berjihad di jalan-Nya, hingga mereka diseru “ wahai nafsu muthmainnah ! pulanglah kepada rabbmu dengan penuh ridlo dan diridloi ! “ ( Q.S Al fajr : 27 – 28 ). Itulah jenak – jenak dimana mereka akan mengulum senyum “kepuasan” untuk sebuah akhir dari dhama bakti perjalanan hidup mereka di dunia.
Dan hingga saat ini aku masih “mendesain” prosesi kematianku yang kubisikkan melalui telinga lantai masjid yang keras dalam sujud - sujud panjangku hingga aku pun menemukan takdirku ……..

Kutahu…. kau senantiasa mengintip
Di sela-sela gelakku
Tersenyum sinis untuk kepongahanku
Di antara seduh sedanku
Mengolok-olok kealpaanku

Kutahu….
Saat kau menjemputku
Tak kan ada yang kuasa menggangu
Apalagi untuk lantang berkata tidak

Kutahu….
Saat kau ulurkan tanganmu
Tiba saat diri tuk melambai kepada segala isi dunia
Karena semua hanyalah titipan belaka

Kutahu…
Ketika kau merengkuhku
Jasad pun kaku membisu berselimutkan kafan
Dan Sorak cacing kan menyambut hidangan di hadapan

Kutahu….
Saat kubersua denganmu
Itulah pintu awal sebuah pertanggung jawaban
Untuk setiap kerlingan
Untuk setiap bisikan
Untuk setiap pendengaran
Untuk setiap tarikan nafas
Hingga tiba sebuah putusan

Kau tahu?
Kala tiba kau menyapaku,
aku ingin menyambutmu dengan senyuman termanisku

Sekpa, 06 Maret 2005
Al faqir ilallah

Sedang Tuhan pun Cemburu

” Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat
zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah
amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal) ” ( Al Baqoroh : 165 ).

Sedang Alloh pun cemburu saat diri ini meng-illah-kan selain Diri-Nya, karena hakikat penciptaan alam raya adalah mahabbah-Nya, bahwa segala kebesaran yang Dia miliki membuat-Nya layak untuk mengenakan ” kesombongan” ( baca : otoritas penuh mengatur alam semesta ) sebagai pakaian-Nya. Cinta-Nya bersenyawa dengan tihta-Nya Yang Maha Agung ” Kun Fa Yakun ......” hingga akhirnya cinta itu mengejahwanta dalam kesempurnaan alam beserta isinya. Dan di antara ciptaan-Nya manusia terpilih menjadi makhluk - meminjam istilah Ustadz Abdullah Shahab- dengan segala potensi – potensinya bukan ”paket” seperti halnya makhluk-Nya yang lain, yang menjadikan manusia menyandang predikat makhluk-Nya yang terbaik. Kemudian pada diri manusia, cinta rabbani itu telah disediakan wadahnya yang bernama qolbu. Ketika cinta rabbani itu menjadi raja atas qolbu itu maka sejarah akan menorehkan dengan tinta emas bagi peradaban di alam semesta ini, bahwa setiap sudut ruang dan waktu dari peradaban manusia akan melahirkan seorang pahlawan. Berbeda halnya ketika singgasana hati itu telah dikuasai oleh syaitan maka yang terjadi adalah genangan airmata bumi karena meratapi nasibnya yang telah melahirkan para durjana.
Susahnya menjaga hati
sedangkan ia adalah pandangan Tuhan
Ia merupakan wadah rebutan diantara malaikat dan syaitan
masing-masing ingin mengisi
Malaikat dengan hidayah, syaitan dengan kekufuran
Bila tiada hidayah ilmupun tidak menjamin
Sekalipun ia perlu
Aduh susahnya menjaga hati
Patutlah ia dikatakan raja diri
Bukankah sifat sombong pakaian raja?
Abuya Syeikh Imam Ashari Muhammad At-Tirmizi
15 Muharram 1426 H
Bahwa kemudian dalam jenak- jenak dimana cinta – Nya bermanifestasi dalam setiap gerak langkah ini - yang menggerakkan kita untuk membalas cinta Sang Kekasih- menjadikan pembalasan cinta itu tidak lagi perlu untuk didefinisikan dengan untaian – untaian kata, persamaan empirik, matematik, atau deskripsi panjang lainnya.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

1989
Sapardi Djoko Damono

Jadi pada kondisi ini cinta kita kepada-Nya tidak lagi dikotak –kotakkan dalam porsi-porsi atau takaran manusia yang terkadang atau bahkan tidak akan pernah sesuai dengan ”timbangan” sebenarnya dalam mencintai-Nya karena syahwat yang senantiasa tidak akan pernah lekang olehnya. Dengan Cinta-Nya kita memandang segala isi dunia ini ; kepada ibu – bapak, anak istri, harta , jabatan, dan seabreg nilai materialistik lainnya.
Semua itu karena tidak ada yang lebih menghinakan dari kenistaan pengkhianatan kepada Sang Maha pecinta, tidak ada yang lebih menyedihkan dari kesedihan menyaksikan wajah Sang Kekasih yang Murka....... Astaghfirulloh .......


Aku menyimak malam bertutur tentang cinta
Cinta adalah….
Keistiqomahan
bulan mempertontonkan parasnya
Sang bayu yang menjadi kurir untuk doa-doa insan kepada Tuhannya
Bintang yang membedaki langit
Sujud takdim rerumputan
Dan Cinta adalah….
Isak hamba yang alpa dan
Berbisik lirih Astaghfirullah…..

Dini Hari, sekpa 11 Juni’05

Asep

Wajah elok rembulan bercadarkan selaput awan kelabu, desis lirih angin pantai, bintang yang membedaki langit, suara percikan ombak mengecup kokohnya batu cadas, dan semua pemandangan elok yang tergelar malam itu di bibir pantai kenjeran tak nikmat lagi kurasa. Ada kesedihan yang meraja dalam hatiku, pandanganku kosong jauh menembus batas kaki langit, ada kegundahan yang tak terlukiskan mengoyak kalbuku. Pikiranku berusaha menelusuri setiap sudut ruang otakku, mengumpulkan kepingan-kepingan memori yang terserak. Dan tidak berselang lama muncul gambaran flashback di depanku bak layar tancap dengan otakku sebagai proyektornya.
Ada sebuah penggal cerita hidupku yang diceritakan di sana, cerita yang dimulai tepatnya setahun yang lalu, saat aku baru beberapa minggu menjalani kehidupan asingku sebagai seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya yakni ITS. Bagiku predikat baruku itu merupakan sebuah amanah berat yang harus aku panggul sekalipun memang harus kuakui ada juga perasaan bangga yang mencoba menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik kalbuku. Ya.. sebuah amanah berat karena saat itu merupakan “titik klimaks” dalam usaha pencapaian cita-citaku.
Dan mungkin sebagai salah satu wujud dharma baktiku, aku beserta teman-teman satu jurusan pernah mengadakan kegiatan bakti sosial dengan cara membagikan sembako kepada masyarakat tidak mampu di lingkungan sekitar tempat pembuangan sampah LPA Keputih yang kebetulan lokasinya terletak tidak berjauhan dengan kampusku.
Dari kegiatan tersebut, awal mula aku mengenal Asep, seorang bocah yang hanya hidup ditemani oleh neneknya yang sudah tua renta. Asep, bocah berperawakan kurus ceking ini baru berusia 9 tahun, menurut cerita mbah Saliyem-begitu biasanya aku memanggil neneknya- ibu Asep meninggal sesaat setelah melahirkannya sedangkan ayahnya sendiri tidak diketahui dimana rimbanya semenjak kepergiannya untuk merantau di negeri orang saat Asep masih berada dalam kandungan.
Sekalipun hanya dibalut pakaian lusuh satu-satunya yang ia miliki, Asep berbeda dengan anak-anak lain di lingkungan itu pada umumnya, wajahnya imut, menggemaskan serta otaknya juga cukup encer. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia dan neneknya harus rela berprofesi sebagai pengemis jalanan sehingga tidak mengherankan jika sampai pada usianya itu ia sama sekali belum pernah merasakan bagaimana rasanya bersekolah. Ada perasaan iba yang menusuk-nusuk hatiku namun aku bingung, berpikir bagaimana caraku untuk sedikit menyingkap tabir kesedihan yang sesekali tampak menggelayuti raut muka bocah tak berdosa itu. Pertemuan itu membuatku bersimpati kepadanya, sesekali aku bertandang ke rumah-atau lebih tepatnya gubuk- yang ia dan neneknya tinggali, entah apakah itu hanya untuk memberikan baju-baju bekas yang sengaja aku kumpulkan dari keluarga teman-temanku yang berdomisili di Surabaya untuk Asep dan mbah Saliyem, ataupun dengan memberikan uang sekadarnya.
Dan tidak terasa kebiasaanku itu telah berlangsung sekitar dua mingguan. Hingga pada suatu saat aku baru sadar kalau Asep juga perlu mendapatkan pendidikan layaknya anak-anak seusianya, untuk itu aku memutuskan setiap hari senin sampai jumat ba’da sholat isya aku mengajarinya membaca, menulis, mengaji dan berhitung di gubuknya. Sekalipun rutinitas keseharianku yang sudah cukup padat oleh kegiatan perkuliahaan dan sebagai aktivis lembaga dakwah kampus, kebiasaan bertandang ke gubuk Asep bukanlah suatu beban bagiku karena di gubuk itu aku disambut dengan tatapan teduh dan bijak mbah Saliyem yang sering membuatku merasa nyaman untuk bercerita tentang segala macam permasalahanku, wajah imut Asep, serta he….he.. singkong rebus yang selalu disajikan untukku tentunya.
Dalam keseharianku bersama Asep terkadang aku menemukan hal-hal yang menarik darinya, seperti pada petang itu, aku dan Asep bercakap-cakap sementara mbah Saliyem sudah asyik masyuk di pulau kapuknya.
“Sep, kalo’ udah gede mau jadi apa?” tanyaku
Sejenak berfikir kemudian ia menjawab dengan raut muka datar, “Ah, Asep mau sekolah tinggi ( kuliah maksudnya ) biar bisa nolong banyak orang kaya’ Mas”.
Mendengar jawabannya itu aku spontan tertawa, namun segera saja kuhentikan tawaku saat kulihat raut mukanya masih datar tidak berubah, kepasrahan dan kepesimisan tergambar jelas di wajahnya , mungkin bagi dia hal itu mustahil tebakku.
“ Trus kalo’ udah sekolah tinggi mau ngapain lagi ?”, kataku lirih.
“ Udah selesai kuliah, Asep mau bikin sekolah gratis untuk temen-temen kaya’ Asep “ jawabnya.
Sampai disini lidahku keluh, ada suara gemuruh dalam setiap palung otak dan dadaku. Asep sekalipun dia masih kecil, tetapi punya cita-cita yang sangat mulia sementara sampai saat ini pun cita-cita itu belum pernah sedikit pun terlintas dalam radar kalbuku. Astagfirullah…..Engkau menyadarkanku melalui lisan bocah ini.
“ Mas, boleh nggak Asep nanya’ ? “ tanyanya memecah lamunanku.
“ Boleh, kenapa tidak ? “jawabku.
“ Kenapa Mas sangat baik sama saya, padahal orang – orang, banyak yang nggak peduli sama Asep ? “ Suaranya lirih.
“ Setiap orang harus saling tolong menolong terhadap sesamanya sehingga kelak ketika kita butuh bantuan, orang lain pasti akan menolong kita selain balasan dari Allah SWT tentunya . Saat ini Mas bisa nolong Asep, besok mungkin Asep yang akan menolong Mas ” uraiku.
“ Trus sekarang, Mas minta tolong apa?, Asep siap bantu “ lanjutnya.
“ Ehm…Mas minta supaya Asep tekun belajar serta giat membantu Mbah , Asep mau ?” tanyaku.
“ Siiaaap bos “ jawabnya sambil tergelak, memecah heningnya malam.
“ Tertawalah, uapkan kegembiraanmu yang bercampur beban serta keletihanmu bekerja seharian, wahai adikku ”, gemuruh suara yang menggaung di lorong-lorong hatiku.
Hitam pekat semakin mengeratkan setiap simpulnya menyelimuti bumi, angin berdesir membumbungkan doa kami yang memancar dari celah-celah genting gubuk reot itu.
****
Alhamdulillah… Asep bisa sekolah, dosen pembina kerohanian Islam-yang cukup kenal akrab denganku- bersedia menjadi bapak asuh Asep, setelah aku menceritakan kondisi Asep seperti apa. Siang itu aku benar-benar gembira, ingin segera kubagikan kegembiraan ini kepada Asep dan mbah Saliyem. Namun jumat siang itu aku harus mengikuti aksi di gedung Grahadi, bergabung dengan teman-teman dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, menentang kebijakan pemerintah yang seenaknya menaikkan tarif dasar listrik ( TDL ), telepon, dan BBM sehingga kuurungkan niatku semula untuk bertandang ke gubuk Asep, nanti sore saja pikirku .
Siang itu sehabis sholat jumat, di depan gedung Grahadi sudah berkumpul ratusan mahasiswa dari berbagai elemen yang memiliki tekad yang sama untuk menyuarakan hati nurani rakyat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jatim pada khususnya yakni menolak kenaikan TDL, telepon, dan BBM. Aksi berjalan cukup panas, karena hingga sang surya hampir memasuki peraduannya, Pak Gubernur yang saat itu masih berada di dalam gedung Grahadi, menolak untuk menemui para pengunjuk rasa. Suasana semakin mencekam saat para provokator berhasil masuk dalam barisan mahasiswa dan memprovokasi mahasiaswa untuk menerobos pagar besi gedung Grahadi yang dijaga polisi tiga lapis, bentrokan pun tak terelakkan. Ratusan mahasiswa yang tak bersenjata menjadi bulan-bulanan polisi yang bersenjatakan tongkat rotan. Beberapa temanku yang berada di garis depan bersamaku terkena pukulan polisi,ada yang kepalanya benjol sebesar telur ayam, bahkan ada pula yang harus di bawa ke rumah sakit oleh teman-teman mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Unair karena kepalanya bocor dan aku sendiri , Alhamdulillah hanya menderita luka kecil pada tanganku. Setelah situasi mereda, kami berusaha untuk mengecek jumlah peserta aksi, ternyata koordinator lapangan (Korlap) kami tertangkap polisi. Untuk membebaskannya, malam itu kami mengirimkan wakil kami ke Polda sementara teman-teman yang lain menunggu di Balai Kesenian Pemuda.
Waktu begitu cepat berlalu, pada pukul setengah sepuluh malam, Korlap kami baru boleh dibebaskan. Usai pembebasan itu kami pulang ke kos-kosan masing-masing. Ketika sampai di pintu pagar kos-kosan aku baru teringat kalau sedianya malam ini aku akan menceritakan kabar gembira kepada Asep sehingga kubatalkan niatku untuk masuk ke rumah, tak kuhiraukan rasa letih yang merajai tubuhku karena yang tergambar dalam anganku adalah kegembiraan Asep dan Mbah Saliyem saat mendengar kabar itu. Dan aku pun kemudian segera beranjak pergi ke gubuk Asep, mudah-mudahan ia belum tidur.
Ketika hampir sampai di gubuk Asep, aku melihat kerumunan orang di bangunan reot itu, hatiku mulai cemas memikirkan apa yang telah terjadi, semakin kupercepat langkah kakiku, ingin rasanya kulipat jalan ini biar cepat sampai di gubuk Asep. Sesampainya di gubuk tua itu aku bagaikan tersengat aliran listrik ketika di dalam gubuk itu kulihat jasad mbah Saliyem terbujur kaku, Innalillahi wa innailahirajiun, dimana Asep, dimana dia pekikku namun tak terucap karena tersekat dalam tenggorokanku. Dari mulut warga kuketahui bahwa Asep dan mbah saliyem tadi sore kecelakaan, sebuah mobil sedan dengan keras menabrak mereka di jalan dekat Galaksi Mal saat hendak menyeberang jalan untuk pulang, Mbah Saliyem langsung meninggal di tempat kejadian, sementara Asep dilarikan ke rumah sakit Dr. Soetomo. Kucoba dengan sekuat tenaga untuk menahan tubuhku agar tidak limbung, karena kaki dan tanganku terasa sangat lemas, lemas sekali.
Suara lirih istighfar tak lepas-lepasnya keluar dari bibirku, malam itu juga aku segera ke rumah sakit. Di sana kulihat tubuh Asep terbaring lemah tak berdaya dengan luka yang cukup parah, kata dokter mudah-mudahan Asep bisa melalui masa kritisnya malam ini sekalipun peluangnya sangat kecil sekali, akan tetapi bagiku manusia berprediksi tetap Allah jualah yang menentukan hidup mati hamba-Nya. Ada kesedihan yang menggantung di kedua kelopak mataku, yang akhirnya tercurahkan lewat butiran-butiran lembut air mata. Kubisikkan kalimat tahlil di telinganya berharap di alam bawah sadarnya ia mau bersama melafalkannya. Cukup lama aku membisikkann kalimat tahlil dan istighfar di telingannya sampai akhirnya…. peristiwa itu terjadi. Saat aku harus merelakan dengan ikhlas kepergian Asep untuk berjumpa dengan sang Kholiq, saat aku harus puas dengan pertemanan duniaku dengannya sekalipun pastinya Asep akan tetap hidup di hatiku ……
Malam itu kurasakan begitu panjang, berbagai peristiwa terjadi, dimana bagiku semuanya merupakan pelajaran berharga, pelajaran tentang perjuangan suci antara hidup dan mati ibu Asep untuk melahirkan anaknya yang semakin mengeratkan tali cintaku kepada ibu bapakku, petuah-petuah bijak mbah Saliyem yang meneduhkanku, serta kesabaran dan kegigihan Asep yang membuatku belajar untuk selalu optimis memandang kehidupan.

Belum ada Judul

Lengang, ditimpa cahaya bulan yang temaram, dan hanya suara katak yang mengiringi langkahku selepas “ngaji” di malam itu, namun suasana seperti yang selalu membuatku tertarik untuk berjalan-jalan sembari merenungi apa yang telah dan akan kulakukan untuk kehidupanku. Ah …… masih banyak yang belum aku lakukan pikirku…..
Keasyikanku seketika terkoyak saat di tengah perjalanan, seorang laki-laki seusiaku menghentikan sepeda motornya dan memanggilku.“ Ada apa Mas? “ sahutku tanpa curiga sedikit pun dengan sosok laki-laki yang nampak flamboyan tersebut. “ Maaf Bang, namaku ( tut…tut..; SENSORED ), nama abang siapa? “ pintanya.
Setelah basa basi sejenak , akhirnya aku tahu dia lagi bingung nyari jalan untuk pulang, sementara dia baru pertama kali masuk di jalan kampusku. Karena dengan petunjuk lisanku, dia masih bingung maka kuputuskan untuk naik motor bersamanya, toh aku juga searah dengan tujuan yang dia maksud. Di tengah perjalanan , tiba-tiba dia bertanya “ Mas nggak pemarah kan?, bibirnya kok merah banget, pake lipgloss ya? “ . Gedubrak…. wah iseng banget nih orang masak nanyain soal bibir segala, “ lipgloss , apaan tuh, megang aja kagak pernah, bibir merah ini memang dari sono-Nya “ sergahku di dalam hati. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari lisan laki-laki tersebut yang pada intinya mengerucut pada satu pernyataan “ Aku Gay, kamu juga kan? “. Tooeeeeng… wah ilfil ( ilang feeling ) nih niatku untuk nolong dia, “ aku turun sini aja mas “ bentakku, alhamdulillah dia nurut aja , coba kalo nggak, pasti esok paginya di headline jawapos ada judul “ SEORANG GAY DIGEBUKIN KORBANNYA “. Astaghfirulloh… kok bisa ya ? potongan apa yang nunjukin kalo aku “sebangsa” dengannya ? padahal malam itu aku pake baju koko, padahal…padahal… segudang protes berkelebat di benakku….hii… … panas dingin badanku dibuatnya . segala puji syukur kehadirat-Nya yang menjaga kehormatan diri ini.….

*******
Jika dahulu eyang kakung dan eyang putri kita selalu malu- malu dan berbisik-bisik untuk hanya ngomongin soal aktivitas seks akan tetapi di era “ sebuah dunia yang terlipat” dan modern ini soal “ silaturahmi kelamin “ baik yang “ standar “ sampai yang di “luar pakem” sekalipun bukanlah menjadi sesuatu yang tabu lagi untuk dibicarakan , dan bersamaan dengan itu, muncul sebuah sikap permisif dan “pemakluman “ budaya ketimuran kita - yang semula cukup ketat terhadap hal ini – untuk bebas mengekspresikan dan memilih “menu seks “ masing-masing individu, pilih pantat goreng saus tiram, lontong balap bumbu stik , atau apapun itu…. silahkan , asal sama-sama senang, sama-sama suka, bebas sebebasnya….
Dan yang cukup ironi ketika demokratisasi selalu dijadikan legitimasi untuk segala tingkah polah manusia modern ini, tidak terkecuali masalah penyaluran syahwat. Lihatlah betapa larisnya bisnis eksploitasi aurat di media audio-visual kita yang terang-terangan mengeksplorasi ( maaf ) dari paha sampai dada dan mengkampanyekan kehidupan seks bebas ( artian bebas sebenarnya ) bahkan kepada anak-anak kecil sekalipun ( bayangkan, ada film kartun made in luar negeri - saat ini digandrungi oleh adik-adik kita di negeri kita- yang diakui sendiri oleh pembuatnya sebagai media untuk mengkampanyekan perilaku gay sejak dini ). Sedangkan di sisi lain dunia sastra kita yang seharusnya bersifat profetik dan mencerahkan pun dikotori oleh kelatahan sebagian “sastrawan” untuk mengekploitasi “dunia ranjang” dalam tulisan - tulisan yang membuat panas dingin pembacanya ( saat ini karya – karya seperti itulah yang sering mengantarkan penulisnya menjadi selebritis ), Di Surabaya sendiri dengan maraknya media-media pornografi dan pornoaksi , memunculkan “ budaya ” yang bebas untuk mengekspresikan aktivitas seks, salah satunya telah melahirkan kelompok GAYa, sebuah komunitas gay yang dipelopori oleh seorang dosen di perguruan tinggi negeri ternama di kota pahlawan ini, bahkan mereka telah banyak melakukan seminar untuk men”dakwah”kan kesesatan mereka, JMMI pun pernah mendapat undangannya, nah lho…..
Wah ….apakah ini yang namanya sebuah kemajuan peradaban manusia yang hampir menyerupai kaum – kaum terdahulu yang dengan kezalimannya akhirnya diadzab oleh pemilik kerajaan langit dan bumi, Yang Maha Azis, Alloh SWT, naudzubillahi min dzalik.
Pertanyaannya sekarang dimana peranan “kita”? diamkah “kita” atau bahkan menikmatinya… mungkin anda akan mengelus dada ketika melihat kenyataan bahwa tidak sedikit aktivis dakwah yang akhirnya berguguran di jalan dakwah karena “interaksi” dengan lawan jenisnya –bukan mahramnya – yang tidak terbatas.. Mari kita jawab semuanya dengan amal nyata “kita”……
Wallahu’alam bishowab…

Kamar sekpa nan sunyi, 6 April 2005

alfaqir ilallah

Ibuku dan Air Mata

Kucium tangan yang mulai berkeriput kulitnya itu, kuhirup berkah yang dititipkan Tuhanku melalui tangan ini, tangan yang selalu dengan mudahnya membelaiku saat aku gundah, tangan yang setia mengiringiku mengisi lembaran-lembaran kehidupanku. Pemilik tangan itu yang pertama kali mengenalkanku dengan kata cinta. .
Tanpa sadar cukup lama aku asyik masyuk dengan tangan itu, butiran-butiran lembut air mata ibuku menggugah kesadaranku, aku mendongak, yang kutemui danau kasih sayang menggenang di matanya. Air mata- yang aku sendiri sampai kini tak tahu penyebabnya apakah sebuah ekpresi kesedihan ataukah kebahagiaan yang tidak menemukan kata untuk menerjemahkannya- selalu mengiringi kepergianku ke Surabaya, tempatku menuntut ilmu, air mata yang selalu berhasil membuat kakiku terasa berat untuk melangkah meninggalkan kampung halamanku.
“ Hati – hati Nak “ pesannya singkat sembari mengusap air mata yang mulai menganak sungai. Aku menggangguk takzim. Aku bergegas pergi, mencoba untuk tidak menatap mata yang pastinya akan senantiasa lekat mengiringi keberangkatanku hingga bayanganku hilang dari pandangannya
*****
Bus yang kutumpangi bergerak stabil, tak kuhiraukan pemandangan di luar yang tersaji melalui jendela bus dimana biasanya aku selalu tertarik untuk mengamatinya setiap kali bepergian. Tiba tiba bus ini layaknya sebuah mesin waktu yang mengantarkanku akan masa laluku. Ya…. Aku terjerembab dalam flashback film kehidupanku, mencoba untuk mengumpulkan setiap potongan memoriku yang terserak di sudut – sudut ruang pikirku. Dan tak berselang lama tergelar sebuah drama, drama yang dimulai dua puluh satu tahun yang lalu saat tangis seorang bayi mengoyak kesuyian yang membalut siang di pertengahan bulan september, tangis seorang bayi yang mengubah suasana cemas menjadi pekat dengan keharuan dan senyuman. Turut menguatkan suasana melankolik itu, tampak sosok wanita dengan kasihnya, menciumi buah hati yang baru dilahirkannya sembari tak putus-putusnya bibirnya berucap syukur kehadirat-Nya.
Berikutnya pementasan itu mempertotonkan bagaimana sosok wanita-yang merupakan tokoh utama drama - itu hampir selalu ada dalam keseharian si bocah. Mulai dari si bocah masih dalam buaian , merangkak, kemudian tertatih-tatih untuk menjejakkan langkah pertamanya, hingga sang bocah menjadi sosok yang dengan gagahnya mampu menantang matahari. Wanita itu tak pernah tunduk oleh rasa lelah rupanya. Tak dihiraukannya rasa kantuk karena setiap malam terusik oleh suara tangis, tak digubrisnya rasa lelah yang merajai tubuh setelah seharian melayani sang buah hati, tak pernah pupus semangatnya untuk memahatkan senyum di wajah putra tercinta sekalipun hatinya dibekap kesedihan. Setiap kali sang bocah ingin berkeluh kesah maka cukup mudah bagi si bocah menemukan telinga ibunya, saat sang buah hati bahagia maka tak perlu waktu lama untuk bisa melihat senyuman terlukis di wajah wanita itu dengan disertai puji syukur atas nikmat yang dianugerahkan kepada putranya.
Ah…. wanita –yang saat ini mulai ringkih itu- selalu setia menuntunku mengisi setiap lembar catatan kehidupanku dengan lukisan cinta, sosok yang doanya selalu menyertaiku dalam mengurai waktu . Ya.. wanita di atas adalah ibuku, dan bocah yang sampai saat ini belum - kalau tidak boleh disebut tidak akan- bisa membalas kebaikan wanita mulia itu adalah aku. Adalah aku seorang anak yang berhasil membuat ibuku tampak jauh lebih tua dari usia beliau sebenarnya dengan segala beban yang disebabkan olehku. Ibuku dengan lautan kesabarannya selalu tabah menghadapi segala kenakalanku. Adalah ibuku yang menukar setiap kedurhakaanku dengan samudera maafnya.
“Astaghfirulllah ….. Ya Allah kasihilah dan lindungi orang tuaku layaknya kasih sayang mereka kepadaku yang tak lekang oleh waktu, amin…..” suara yang menggema dalam palung hatiku.
******
“ Wilangun….wilangun….. terakhir…” pekik kondektur mengembalikanku ke bumi, sudah sampai rupanya. Dan panasnya kota Surabaya pun telah menyambutku, kota yang menjadi kawah candradimuka untuk mewujudkan salah satu impian ibuku.
“ Selamat datang Surabaya, dengan bekal air mata ibuku akan kutaklukkan kepongahanmu “.

Candi, 15 Desember’04
Sebuah Kado Kecil untuk Cinta Pertamaku di “hari Ibu”

Gerimis

Titik - titik air dari langit memantul-mantul di pelataran masjid, memainkan sebuah senandung lirih " wahai insan yang belum terlelap malam ini, berdoalah niscaya Tuhanmu akan mengabulkannya, laiaknya kabar dari Rasulmu,dan janji dari Dzat yang tiada tabir antara desir kalbumu dan pendengaran-Nya ". Dan aku masih tersungkur di pojok masjid ini,mencoba untuk mengendapkan hati, mengumpulkan setiap memori yang terserak di sudut-sudut ruang pikirku. Bahwa hari ini,usiaku bertambah sekaligus berkurang satu tahun,dan dalam setiap benang waktu yang aku sulam selama rentan kehidupanku, menjadi beraneka pola dan warna, di sana ada kesedihan - kesedihanku yang sejatinya adalah kebahagianku yang tidak menemukan tempatnya untuk bersemayam, ada juga jenak - jenak dimana aku tiada malu untuk berkhianat akan amanah suci kehidupan ini, astaghfirulloh ....
Duh, waktu yang laksana bus kehidupan ini telah mengatarkanku pada terminal dimana aku tidak bisa kembali mengulangi perjalananku, dan jalan ke depan masih terbentang, ada tikungan, tanjakkan, dan waktu juga akan menyodorkan kepadaku pilihan-pilihan. Sedangkan sejarah kehidupan ini baik secara personal maupun sejarah kolektif manusia yang bernama peradaban laiaknya pola-pola yang bisa jadi berulang secara identik ( involusi ) maupun hanya berbeda konteks tapi memiliki subtansi yang serupa. Sejarah telah mencatat dengan tinta penuh warna kebencian tentang kepongahan seorang Fir'aun akan tetapi beribu -ribu tahun setelahnya sifat-sifat itu masih terduplikasi dengan melahirkan Fir'aun – Fir’aun masa kini,dan kita sekarang menjadi saksi bahwa peradaban manusia masa kini yang katanya modern ini tidak jauh berbeda - kalau tidak mau dikatakan sama- dengan peradaban jahili yang kita baca di kitab - kitab sejarah kaum-kaum terdahulu. Dan sungguh, bisa jadi catatan hitam sejarah peradaban manusia itu, aku pun turut menorehkannya.
Duh, ampuni hamba-Mu, Gusti. Memang kesalahan sudah menjadi "jatah kemanusian" dari-Mu untuk kami insan yang lemah, agar diri ini mensyukuri akan samudera pengampunan-Mu,akan tetapi diri ini malu saat kedholiman itu kami kami tebarkan sementara Engkau senantiasa menatap dan tiada tempat dan wilayah di alam semesta yang di luar jangkauan-Mu.Dan lebih celaka lagi, ketika saudara - saudara kami saat itu "menyaksikan" kami sebagai manusia yang tiada berlumur dosa, astaghfirulloh, jadikan kami lebih baik dari yang mereka persangkakan dan ampuni untuk segala ketidaktahuan kami.....
Duh, aku semakin tersungkur, dan titik - titik air masih menari-nari di pelataran masjid, laiaknya gerimis di ladang jiwaku, yang semoga bisa menyirami kegersangan hatiku, menyemai rasa takutku kepada-Mu, merabuk pohon-pohon harapan akan pengampunan-Mu.
Titik – titik air masih memainkan kidungnya, dan aku masih sendiri , memesrai penghujung malam dengan doa-doa lirihku...............


Tuban, malam yang dingin, September 2005
Sabillah

Monday, January 02, 2006

Robohnya Surau Kami

Aku bergegas menuju masjid saat kudengar adzan sholat Isya dikumandangkan , seketika kuhentikan langkahku ketika kulihat seorang bapak terbujur di teras masjid sembari memegangi luka sobek di kakinya yang cukup lebar, darah segar terus mengucur dari luka akibat terjatuh tersebut. Segera kuhampiri lelaki tersebut, dan sesaat setelah itu aku pun membawanya ke sebuah klinik terdekat. Ada luka yang merajai diri ini saat itu, selain mungkin ikut merasakan rasa sakit yang sedang dirasakan ada luka lain yang masih kurasakan hingga saat ini yakni bahwa pada saat itu tak satu pun jamaah sholat Isya yang berinisiatif untuk menolong si Bapak, mereka hanya melihat – itu pun hanya beberapa orang saja – kemudian berlalu pergi setelah puas mengomentari luka si Bapak. Astaghfirulloh….. apa yang sedang terjadi dengan “kita” ( maaf saya melibatkan anda dalam kasus ini, karena bisa jadi hal ini pun tanpa disadari pernah “kita” lakukan dalam konteks yang berbeda) ? tidakkah aktivitas ibadah kita seyogyanya semakin memoles kepekaan sosial hingga meningkatkan nilai –nilai humanisme ( baca : kemuliaan akhlak ) diri ini? Naudzubillahi min dzalik. Saya tidak ingin gebya-uyah ( mengeneralisasi ) dengan mengantarkan pembaca pada satu kesimpulan bahwa hal itu adalah fenomena yang sedang terjadi karena ke”nyataan”nya hal itu merupakan kejadian yang sifatnya kasuistik belaka, akan tetapi bisa jadi hal tersebut juga merupakan jigsaw – potongan gambar- dari suatu lukisan besar bertajuk : “In Memoriam : Telah Matinya Subtansi Ibadah Kita “.
Adalah suatu efek negatif yang selayaknya kita waspadai dari suatu aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang, kontinu dan akhirnya telah menjadi kebiasaan kita adalah hilangnya ruh atau esensi dari aktivitas tersebut, aktivitas itu kehilangan makna kenapa ia dilakukan dan akhirnya aktivitas itu bermetamorfosis hanya menjadi usaha pembebasan diri dari rasa “tidak enak”. Ketika sholat kita hanya dimaknai untuk mengejar pengalaman ekstase belaka, ketika puasa kita hanya melahirkan rasa haus dan lapar, saat tilawah kita hanyalah untuk mengejar setoran berlembar-lembar tiap harinya tanpa kita berkenan untuk mengetahui maknanya, saat ibadah haji itu mulai bergeser menjadi tidak lebih dari sekedar darmawisata dan usaha untuk menaikkan strata sosial kita dengan predikat “ Pak Haji atawa Bu Haji “- ampuni jiwa ini yang senantiasa lalai ya Rabb – maka saat itu kita telah menjadi orang-orang “puritan” dengan membangun menara gading sebagai istananya dan secara bersamaan efek utama ibadah mahdhoh -yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas akhlak kita terhadap sesama makhluk- layaknya fatamorgana dalam kegersangan jiwa ini. Dalam konteks yang lebih real , sungguh ironi jika setiap tahunnya jamaah haji Indonesia selalu bejibun -bahkan harus ada yang legowo untuk tidak ikut karena pembatasan kuota- namun senyampang dengan itu angka kemiskinan penduduknya juga cukup besar, kemudian yang tak kalah membuat kita harus mengelus dada, konon negeri yang terbesar jumlah muslimnya di dunia ini , segala bentuk kedholiman baik itu tersamar maupun terang-terangan, kelas teri sampai kelas kakap, kemaksiatan yang serabutan maupun ter-sistemik begitu lengkap adanya ( meminjam ungkapan Mustofa Bisri : “ apa yang tak ada di negeri ini ?” ). .Dan ijinkan saya mengutip pendapat ustadz Fauzil Adhim dalam mengomentari kualitas ibadah semacam ini : “ Mereka sedang berjalan menuju Tuhan, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah sedang memuja dirinya sendiri. Mereka menjadikan dirinya sendiri sebagai sesembahan tetapi mereka tidak menyadarinya. Mereka mencari spiritualitas tetapi bukan untuk mengabdi kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Mereka ingin memuaskan jiwanya yang sudah mendekati kondisi patologis. Karenanya yang mereka dengar adalah kegelisahan jiwanya . Bukan bimbingan Nabi “. Astaghfirulloh wa atubu ilaik …..
Bukankah Rasulullah SAW sendiri menegaskan bahwa risalah mulia yang beliau bawa adalah untuk menyempurnakan akhlak umatnya - “ Innama buitstu li utammimma makarimal akhlaq “ - selain itu janji surga dan neraka juga sering berkaitan erat antara khablum minalloh dengan muamalah kita kepada sesama manusia.
Saudaraku, mari “berhenti” sejenak dari segala rutinitas kita , mengendapkan hati dan mencoba untuk memeriksa kembali setiap jejak langkah kita apakah memang sudah sesuai dengan niatan kita untuk ta’abud ilallah dan apakah efek rahmatan lil alamin itu telah terpenuhi dari setiap tarikan nafas dan gerak gerik kita ? , dan ijinkan sekali lagi saya untuk menilik perkataan salah seorang ulama salaf , Fudhail bin Iyadh, berikut ini sebagai bahan muhasabah kita bahwa seolah – olah ayat kauniyah Aloh SWT maujud dalam segala dinamika interaksi kita dengan makhluk-Nya : “ Aku mengetahui dosa-dosaku kepada Alloh SWT melalui sikap istriku, anak-anakku, dan bahkan tikus – tikus rumahku “.
Astaghfirulloh…… astaghfirulloh…….. astaghfirulloh
Wallahu’alam bishowab

Candi nan menenangkan , 8 Mei 2005

"Selamat Siang Akhi ...."

Menjadi seorang aktivis dakwah, adalah menjadi insan segala jaman,manusia yang tidak pernah dibatasi konteks ruang dan waktu,karena mereka adalah pemegang tongkat estafet tugas para nabi dan rasul untuk menyemaikan, menyiram dan memupuk benih-benih Islam di ladang jiwa setiap makhluk-Nya di muka bumi. Dan sejatinya Islam sendiri merupakan agama yang universalitas-nya terwakili dengan ke- rahmatan lil 'alamin-annya, maka sampai di sini cukup beralasan sekiranya seorang aktivis dakwah akan menjadi sangat kerdil jika ia dipaketkan oleh batas-batas imajiner, “tegalan”, maupun kotak-kotak yang bisa jadi merupakan buah dari ghozwul fikr untuk membonsaikan segala aktivitas seorang aktivis dakwah. Bahwa kemudian sekat-sekat yang muncul baik itu berdasarkan garis batas geografis, demografi, sekat komunitas , satuan primordial, standart nilai maupun segudang varian-varian dikotomi lainnya, bukan untuk mengungkung tapi hanya merupakan upaya untuk menganalisa, mengenali pola,dan memetakan mad'u guna tercapainya syiar yang sesuai dengan segmentasi dakwah itu sendiri, sehingga tidak ada bahasa dakwah yang nantinya tumpah ruah tak berguna.
Adalah seorang aktivis dakwah yang tidak hanya gagah berkoar-koar di kampus - mentereng dengan segala atribut dan simbol-simbol eksistensinya - akan tetapi ia juga tidak risih untuk hanya "sekedar mendengar" keluh kesah seorang marbot masjid kampus yang pagi ini sedang dirundung masalah. Ia tidak akan betah untuk bertengger di puncak menara gading sementara ada banyak permasalahan umat yang mendobrak-dobrak dinding nurani setiap diri yang lentera hatinya belum padam.
Pagi ini, ada adik kita sedang meringkuk kesakitan di pojok sebuah bangunan tua menahan perih perutnya karena sejak kemarin belum makan, ada seorang wanita tunasusila yang bukannya tidak ingin berhenti "bekerja" dan hidup sebagai wanita terhormat, akan tetapi kalau dia keluar dari jalan kesesatan itu siapa yang akan menghidupi 5 orang anaknya yang menantinya di rumah, ada adik perempuan kita yang bukannya tidak ingin berhijab tapi hanya itu baju satu-satunya yang ia miliki, ada seorang kakek yang ingin sekali ber-Islam secara kaffah tapi yang ia ketahui tentang Islam itu sendiri hanya sekedar sholat lima waktu belaka, ada juga suatu kelompok masyarakat yang menkonsumsi khomer laiaknya kebutuhan untuk meminum air putih dan entah berapa tumpuk lagi fenomena umat di luar sana yang akan membuat kita tercengang sekaligus malu karena hanya sebatas ujung kuku, kontribusi yang telah “kita” berikan untuk umat ini.
Jika di kampus atau komunitas lainnya yang “homogen”, besaran-besaran masalahnya biasanya cenderung bisa diuraikan dalam satuan benar dan salah, sedangkan dalam masyarakat yang sebelumnya tidak pernah kita ketahui keberadaan dan kondisinya, permasalahan mereka akan membuat kita tidak hanya melihat sesuatu dengan kacamata hitam-putih, karena realitas masalahnya begitu kompleks, heterogen , berkelindan dan terkadang terasa samar saat kita mulai merabanya. Dan seni berdakwah diperlukan di sana, karena solusi yang mengemuka haruslah kongkret dengan kerja-kerja manusiawi, tidak hanya penuh retorika sehingga inti dakwah yang merupakan proses transformasi “kabar dari langit” dan misi “perubahan” itu bisa mengakar serta menghujam di bagian terdalam palung hati umat.
Semoga kita tidak menjadi laiaknya seorang bocah yang menganggap bahwa dunia itu hanyalah sebatas pekarangan di belakang rumahnya karena sedari kecil ia terkurung di sana, hingga ketika tiba giliran kita untuk keluar dari “ pagar pekarangan" itu ,umat yang terseok-seok akan berujar lirih kepada kita " Selamat Siang Akhi ....." Naudzubillah , astaghfirulloh .......
Wallahu’alam bishowab


Tuban di penghujung malam, September 2005
@-one

Sekuntum Edelweis Untukmu, Aktivis Dakwah

“ Aku ingin mundur dari wasilah dakwah ini, aku sudah tidak kuat lagi menunaikan amanah yang semakin menyesakkan dadaku, aku sudah tidak kuat lagi menelan kekecewaan demi kekecewaan, batas kesabaranku telah habis “, kalimat itulah yang terlontar dari lisan salah seorang saudaraku yang biasanya terlihat tegar dan selalu mempersembahkan senyumnya setiap kali bersua denganku, tapi pagi itu seolah kesedihannya telah menghapus semua lukisan senyum di wajahnya, seakan keputus asaan telah menyedot seluruh semangat dan harapannya. Untuk sejenak aku termenung, udara dingin yang sedari tadi membekap tubuh tak kurasa lagi. Ah....masih belum begitu lama, aku pun pernah berada pada posisi yang sama layaknya yang dialami saudaraku ini, saat itu pun begitu putus pengharapanku hingga aku pun benar-benar sudah tidak kuat lagi menanggung amanah ini dan serperti dia aku pun ingin mengakhirinya dengan cara keluar dari aktivitas ini. Aku melihat masalah yang dia hadapi pun sepertinya sama denganku, kepingan – kepinngan kekecewaan dan keletihan yang akhirnya menjadi puzzle raksasa bergambar kata Putus Asa.
Kelelahan adalah sebuah efek yang wajar dari aktivitas yang berulang ulang, kontinu bahkan terkadang membosankankan. Keletihan adalah kenikmatan yang diberikan-Nya di sela-sela aktivitas kita karena kedatangannya membuat kita merasakan nikmatnya beristirahat, kedatangannya membuat kita memperoleh kesempatan untuk menarik nafas panjang sebelum kita kembali berlaga, namun adalah keletihan yang meraja yang akan membekap bara semangat, azam dan harapan, meredupkannya dan diam-diam memadamkannya. Oleh karenanya ketika kita bermain-main dengan keletihan, maka seyogyanya kita menjaga agar keletihan itu tidak menjadi penjara untuk perjalanan kita selanjutnya dan pada saat yang sama hendaknya kita selalu sadar akan keberadaann cawan-cawan yang berisi cairan energi yang senantiasa dihidangkan untuk kita. Sumber kekuatan yang akan membuat kita untuk tidak betah berkubang dalam lembah kefuturan, energi itu yakni keikhlasan dan indahnya ukhuwah.
Ketika kekecewaan dan keletihan bersemayam di dada maka menyadari kembali bahwa apa yang kita lakukan adalah sebuah usaha dan pengharapan besar kita untuk menggapai rahmat dan ridho Alloh SWT, akan mengembalikan kekuatan untuk bangkit. Keikhlasan adalah tidak berbesar kepala saat pujian mengguyur , begitu pun tidak berputus asa bilamana cercaan menghujam dan menghimpit, adalah keikhlasan tidak bergantung pada makhluk yang biasanya menjadi sumber kefuturan itu sendiri. Sebuah keikhlasan tidak mengenal kata lelah karena segala keluh kesah senantiasa dititipkan pada angin yang membumbungkan doa dalam sujud-sujud panjang kita.dan DIA senantiasa menyediakan “telinga”-Nya untuk kita.
Saat tubuh tidak lagi tegak, saat kaki mulai lemah, saat lisan mulai kelu untuk menyuarakan kebenaran, maka pada saat yang sama ada saudara kita yang memapah, saudara yang akan menopang kaki yang telah rapuh, dan menggantikan kita untuk bersuara lebih lantang. Senyumnya bagai oase dalam kegersangan jiwa kita, perhatiannya adalah penentram kegundahan kita, tausyiahnya adalah semangat baru yang disematkan pada diri ini. Karena dialah kita yakin bahwa kita tidak sendirian.
Andaikan saja kita layaknya sekuntum bunga edelweis yang terus mekar dalam kegersangan, terus mempersembahkan senyum dalam kesederhanaan dan kebersahajaannya, semangat abadi hidupnya dalam keterhimpitan. Ya... seperti halnya edelweis, tekad untuk memberikan sesuatu bagi kemaslahatan umat adalah ruh hidup itu sendiri sehingga ketika kita ingin keluar dari aktivitas yang menjadi media untuk tumbuh dan hidupnya ruh itu maka kita telah menyiapkan prosesi HARAKIRI untuk jiwa ini.
Sekpa, 21 Ramadhan 1425 H
- Sabillah -
Teruntuk saudaraku dalam sisa-sisa keletihannya

Ode Sang Ikhwan

" Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min " ( An Nuur : 3 )

Indah dan ghuroba'.....mungkin kata itu yang sanggup mewakili pemandangan yang kusaksikan selama berinteraksi dengan saudara-saudaraku ini, betapa pun teman - teman sebayanya heboh dengan segala tetek bengek atribut keduniawian, jati diri muslim mereka seolah tidak tergerus oleh arus hedonisme nan menggiurkan. Di kala rekan - rekannya menghabiskan malam dengan gelak tawa dalam " halaqoh - halaqoh " setan,mereka lebih memilih untuk tersungkur di pojok masjid melukis doa di atas sajadah dengan air mata, saat yang lainnya lelah menghafalkan lagu-lagu melenakan, mereka lebih memilih Al-Qur'an sebagai senandung pujaan, ketika jaman menyuguhkan pergaulan yang tiada batas antara pria dan wanita bukan mahram,mereka menjadi pemuda - pemuda puritan laksana nabi Yusuf alaihissalam, yang menampik fitnah itu dengan bekal kalimat " aku takut kepada Alloh ..... ".Saudaraku yang pandangannya selalu terjaga, hati mereka yang selalu merindui-Nya, lisan yang tiada henti berucap asma-Nya, merekalah lentera di lorong- lorong gelap jaman, dengannya setiap orang tua di penghujung malam membumbungkan doa berharap anaknya seperti mereka.
Sedangkan diri ini....., hati yang seringkali alpa mengagungkan-Nya, tutur yang menyakitkan,tetapi me-make up tebal-tebal bopeng-bopeng diri ini, berharap bulan itu lekat - lekat menatap dan membiarkan dirinya tersiksa hingga ia pucat di telan awan kekecewaan.... oh diri betapa khianatnya ....
dan sepotong hati yang kukhianati itu, tak tahu kini berada di mana....
diakah yang bersimpuh di atas sajadahnya
menampung setiap tetes air matanya untuk ditukar dengan cinta Tuhannya...
ataukah ia...
yang saat ini tengah tenggelam dengan gelaknya...
bersama sorak sorai iblis dan teman-temannya.....
aku tak tahu...
untukmu sepotong hati:
Tuhanku bertihta bahwa hatimu - hatiku pasti-lah sewarna..
maka
aku sangat berharap
laiaknya harapanku pada diriku;
engkau adalah sepotong hati yang amat pekat dengan ketakutan akan murka-Nya
moga engkau adalah sepotong hati yang penuh energi untuk mencintai-Nya
semoga....
untukmu sepotong hati :
engkau kah yang saat ini sedang menguntai doa dari setiap desahmu untuk ku...
engkau kah saat ini sedang merayu sang bayu untuk menyampaikan pesan kepada Tuhanmu ...
engkau kah?
wahai sepotong hati...
rindu ini ( kepada-Nya ) memuisi lagi.....


12 Ramadhan 1426 H,saat kegundahan mulai merambati dinding kalbuku ....

Andai Tiada Kata Maaf

Dan adalah suatu keniscayaan untuk bersyukur ketika Alloh SWT memperkenankan kita berkumpul dan secara intens mengurai waktu dengan sahabat - sahabat yang tak pernah lekang untuk mengagungkan asma-Nya dalam setiap sudut waktu dan ruang yang dimilikinya sebab kecintaan mereka yang mendalam kepada Sang Maha Pecinta. Hingga serat - serat waktu yang kita rajut bersama mereka menjadikan ukhuwah ini penuh dengan warna cinta . Saat jiwa ini dahaga, telaga hati merekalah yang akan siap sedia mempersilahkan kita untuk mereguk air sejuknya. Wajahnya yang teduh, senyumnya yang menyegarkan, dan tuturnya yang membangkitkan jiwa yang mati adalah bagian dari kenikmatan - kenikmatan-Nya, bersama merekalah, kita menanak kebahagiaan dari remah - remah keceriaan yang akhirnya membuat kita untuk tidak tenggelam dalam lautan cobaan kehidupan. Sekalipun tidak bisa dipungkiri, di luar gambaran indah tersebut, ada saat - saat dimana ikatan ukhuwah itu diuji kekuatannya : ada janji - janji yang terabaikan, lisan yang menorehkan luka,khilaf dan alpa yang memungkinkan wajah cinta itu dalam sekejap berubah menjadi kebencian, karena pada hakikatnya cinta dan benci itu sendiri hanya dibatasi membran yang sangat tipis. Dan dalam jenak - jenak dimana kita telah mendholimi saudara kita, terkadang kata "afwan" begitu mudahnya kita tebarkan, tanpa sedikit pun ada sebuah penyesalan akan kesalahan yang telah dilakukan, bahkan jika kemudian akh Rahwana pun telah bersalah dengan menculik Dewi Sinta dari sisi akh Rama, maka akh Rama pun harus dipaksa untuk menelan kata "afwan" sebagai bentuk ke-legowo-an untuk menerima bentuk kelaliman akh Rahwana. Sehingga pada kasus ini kata "afwan" seolah menjadi password untuk men-delete rasa sesal dan tekad untuk melakukan perbaikan diri dari ruang hati para penebar mantra "afwan".
"Afwan" telah mengalami paradoksisasi - pembalikan filosofi - dari makna yang sesungguhnya, dan kata ini menjadi semacam justifikasi pelakunya untuk melakukan artifisialisasi sebuah "kebenaran". Dengan kata - kata itu, seolah - olah bopeng - bopeng kekhilafan di-make up sedemikian rupa hingga menjadi sangat menarik untuk disodorkan secara paksa kepada saudaranya. Dan proses rasionalisasi kesalahan tersebut telah menjadikan standart nilai kesalahan- jika kita memandangnya dalam prespektif syariah- yang sejatinya memilki "pakem" dan berlaku universal menjadikannya relativistik. Dalam ruang interaksi yang semakin lebar, ketika dikaitkan dengan interaksi makhluk dan Sang Kholik menjadikan kesalahan - kesalahan itu tidak melahirkan apa yang disebut sebagai taubatan nasuha, karena kesalahan itu akan dilakukan secara berulang - ulang, tanpa menyediakan sedikit pun ruang sesal di bilik kalbunya sebagai makhluk-Nya yang hina.
Jika kita me-napaktilas-i sirroh kaum terdahulu baik berasal dari Al Qu'an maupun hadits, menyimpulkan kita bahwa ada korelasi yang sebanding antara permohonan maaf untuk kesalahan personal maupun kolektif dengan proses pengampunannya . Dimana hal ini menegaskan bahwa dalam sudut pandang "pelaku", kesalahan harus ditempatkan sesuai dengan proporsosinya sebagai "sesuatu" yang melahirkan proses muaqoba yang setara dengan eskalasi kesalahan itu sedangkan pe-maaf-annya sendiri terindikasi dalam proses perubahan predikat "bersalah" menjadi " lebih baik".

Maaf……
Seuntai kata yang senantiasa terucap
dari telaga hati
yang telah kering dari sesal
menguapkan ketakutan akan murka-Nya
mengendapkan nokhta hitam

Andai tiada kata maaf ….
Ketika maaf beralih rupa menjadi sebuah pembenaran
Bagi setiap kelaliman
Bagi setiap kesalahan

Andai kata maaf tiada ….
Saat ia kehilangan wajah teduhnya
Saat ia tak mampu lagi memahatkan senyum ikhlas
di wajah saudaranya

Sebelum kata maaf tiada makna….
Aku berharap saudaraku terbebas
dari kedhaliman tanganku
khianat lisanku
kelamnya lorong-lorong kalbuku



Menjelang berbuka, 5 Ramadhan 1426 H
Sabillah

Nol Kilometer

Kembali ke fitroh dan menjadi seorang pahlawan, mungkin itu kalimat yang tepat untuk momentum saat ini setelah hampir satu bulan kepribadian kita ditempa dalam candradimuka yang bernama ramadhan. Bahwa kemudian yang diharapkan dari proses penempaan itu adalah sesuai dengan firman-Nya di surat Al baqoroh ayat 183 yakni menjadi muttaqin, dan spektrum dari ketaqwaan itu sendiri salah satunya yakni munculnya jiwa kepahlawanan pada diri ini.
Sebuah tabiat jaman bahwa seorang pahlawan selalu muncul dari lorong - lorong gelap jaman, keterhimpitan, dan tirani yang pada semua kondisi itu ia bertiwikarma ( mengumpulkan tenaga ) untuk kemudian pada suatu waktu potensi kepahlawan itu akan meledak dan sejarah akan mencatatnya dengan tinta emas. Akan tetapi, sejatinya proses menjadi pahlawan sendiri tidaklah mudah, ada serat - serat visi,cinta, keberanian, kesabaran dan keikhlasan untuk berkorban yang harus dirajut sedemikian rupa hingga menghasilkan sulaman sejarah keemasan peradaban.
Dan dalam momentum yang pekat dengan "suasana" kefitrohan ini, seyogyanya kita "men-suryakanta-i" potensi-potensi kepahlawanan itu di dalam refleksi sejarah hidup ini. Karena untuk memperoleh gelar "shummun bukmun 'umyun", manusia sebenarnya cukup hanya enggan bercermin, ogah berkaca. Berkaca terhadap apa?terhadap banyak hal. Peristiwa masa lalu? ya! kesalahan -kesalahan masa lalu? ya! kedunguan-kedunguan masa lalu?
Kenapa mesti masa lalu? bagaimana dengan 'kini' dan 'saat sekarang'?
Karena apa yang di sebut 'masa kini' adalah sebenarnya hanya berlaku dalam sepersekian detik, sekon bahkan tidak ada sama sekali. Dus, apa yang kita sebut sebagai jadid ( baru ) sebenarnya amat sangat cepat menjelma menjadi 'qadim ( lama ).
Hingga refleksi kepahlawanan itu pun mengejahwanta dalam kerja -kerja manusiawi di setiap palagan, medan, ruang dan waktu kehidupan kita, tanpa sedikit pun memberikan bilik; keinginan akan sorak sorai dan riuh rendah tepuk penonton. Betapa pun ia harus sendirian untuk bergulat, berjibaku dengan tiran - tiran jaman.

menyerahlah untuk setiap diri yang kalah
futurlah bagi jiwa yang lelah
andaikan semuanya bersepakat
untuk berhenti mengusung kemuliaan ini
maka biarkan aku di sini
bersama cinta Rabb-ku
hingga kemenangan berhasil kurengkuh
atau kesyahidan memuliakanku .....



Sukolilo, November'05
@-one

Sunday, January 01, 2006

Ode Sang Ayah

Menjadi ayah .....
Predikat yang melambungkan kita dengan lintasan-lintasan indah. Bagaimana
tidak, betapa nikmatnya saat ada yang memanggil diri ini, tidak dengan
nama kita tapi dengan lisannnya yang terbata-bata " abi....abi... ", saat
sesosok tubuh nan mungil dan imut itu mendekap diri ini, saat kegersangan
jiwa ini seakan disiram oleh tuturnya nan lugu " ade' cayang abi ...",
entah untaian kata indah apalagi yang dapat melukiskan kebahagian itu, saat
itulah setiap sudut hati kita terisi dengan warna cinta.
Menjadi ayah berarti menjadi penabur benih cinta di ladang jiwa buah
hatinya, cinta yang disemaikan sejak kecupan pertama kali di kulitnya yang
memerah, disiram dengan air mata di hamparan sajadah kita dalam heningnya
malam, dipupuk dengan butiran-butiran taujih robbaniyah, dan hebatnya tanpa
kita tahu atau lebih tepatnya tanpa "berkenan" pohon cinta itu memberikan
buahnya untuk kita. Karena memang "pekerjaan" seorang ayah adalah pekerjaan
mencintai.
Menjadi ayah berarti menjadi saksi, segumpal cinta itu berkembang menjadi
sosok kecil yang tertatih -tatih merangkak, berdiri, berlari dan kemudian
waktu akan mengajarinya untuk berkata " Inilah aku...." bukan " inilah
bapakku ". Dan kita akan tersenyum kecil saat di penghujung waktu, tatapan
nanar kita mulai menyadarkan diri bahwa kita sudah semakin dimakan usia,
dan kepada mereka lah amanah untuk mengabdi kepada Tuhan harus diteruskan,
kepada setiap jejak langkah-nya lah bumi ini akan diberi bobot dengan
kalimat " Laa illaha illallah, Muhammadurrasulullah .... " .
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar" ( Luqman : 13 ).
Menjadi ayah berarti menjadi sosok laiaknya Ibrahim dengan segala keteguhan
iman dan kesungguhan cinta kepada Tuhan-Nya, laiaknya kebijaksanaan dan
kearifan Ya'qub kepada Yusuf , laksana Ayyub dengan ketegaran dan
kesabarannya, dan laiaknya Rasulullah dengan akhlaknya yang mulia. Maka
menjadi ayah berarti meneruskan tugas - tugas para Nabi dan Rasul-Nya,
hingga semakin bergemuruh suara bocah untuk memuji keagungan-Nya.
Dan menjadi ayah berarti menjadi bapak peradaban, yang menumbuhkan jiwa-
jiwa pahlawan di setiap lorong-lorong gelap jaman.
Maka sesungguhnya menjadi ayah bukanlah pilihan........
wallahu'alam bishowab



Sukolilo yang menggigil, 12 Juli'05
Kado kecil untuk Cak Jo yang dikaruniai putri nan elok, moga menjadi anak
yang sholeha, Insya Alloh menjadi kadept keputrian JMMI periode 20.... (
amin ya rabbal'alamin.... )